Ilustrasi |
Artikel lain yang berkaitan
Teori Pengaruh Asing
Kontroversi Teori Pengaruh Asing
Ignaz Goldziher dan Hukum Islam
Joseph Schahct dan Teori Pengaruh Asing dalam Hukum Islam
Oleh Cipto Sembodo
Pendahuluan
Diantara sarjana Barat yang secara khusus membahas persoalan pengaruh asing dalam hukum Islam adalah SV. Fitzgerald. Nama lengkapnya adalah Seymour Vesey Fitzgerald. Dia adalah pendahulu JND. Anderson dan NJ. Coulson di SOAS, London yang mengembangkan riste dan kerya akademik standard mengenai hukum Islam, khususnya hukum Islam di Timur Tengah. Fitzgerald membahasnya panjang lebar melalui artikelnya “The Alleged Debt of Islamic Law to Roman Law. Di dalam tulisannya itu, Fitzgeral menolak adanya anggapan adanya pengaruh hukum Romawi terhadap hukum Islam, berdasarkan argument historis maupun perbandingan hukum. Secara khusus Fitzgerald menanggapi dan mengeritik pendapat-pendapat Goldziher.
Menurut Fitzgerald, pembahasan-pembahasan mengenai adanya pengaruh asing (hukum Romawi) dalam hukum Islam seseungguhnya tidak berdasar pada sumber-sumber yang otentik. Lebih parah dari itu, diskusi mengenai hal ini juga tidak mempunyai landasan teoretis dan metodologi yang kuat dan akurat. Jika ditelusuri, maka semua wacana dan diskusi atau perbicangan mengenainya hanya didasarkan pada “anggapan kemiripan” antara hukum Islam yang datang lebih akhir dengan hukum Romawi yang telah ada sebelumnya. Asumsinya, sekali lagi asumsinya, yang datang belakangan tentulah yang menyontoh atau terpengaruh atau menyerap yang datang lebih dahulu. Dan anggapan, lagi-lagi masih anggapan, kemiripan itu membuktikan adanya pengaruh dan peminjaman budaya. Cara kerja seperti ini seperti dikatakan Fitzgerald jelas tidak ilmiah. Apalagi tuduhan-tuduhan bahwa, misalnya, “hukum Islam tidak lain adalah hukum Romawi dalam bahasa Arab” dan “bangsa Arab tidak menambah sedikitpun pada hokum Romawi kecuali kesalahan-kesalahan”, jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan dan harus disesalkan. Semua teori yang diajukan itu tidak ilmiah, dan hanya jatuh menjadi anggapan/dugaan karena memang tidak menggunakan dan tidak menemukan bukti-bukti historisnya
Kritik Atas Pemikiran Goldziher
Kritik Atas Pemikiran Goldziher
Ada tiga orang yang bertanggung jawab atas issu ini, demikian Fitzgerald. Mereka dalah Seldon Amos, Savvas Pasha dan Ignaz Goldziher.Amos adalah ahli hukum Romawi, tapi buta hukum Islam, sehingga menganggap bahwa perkataan Khalifah adalah sumber hukum Islam. Sedangkan Pasha adalah pegawai negeri (nasrani) pada kesultanan Utsmaniyah yang tidak menguasai hukum Islam. Bagi Fitzgerald, tampak hanya Goldziher yang perlu ditanggapi serius.
Merespon ide-ide Goldziher, Fitzgeral menyebutkan "Tidak tepat hukum Islam lahir pada abad ke-dua hijrah". Menurut Fitzgerald, tak ada alasan untuk ragu terhadap penyandaran riwayat-riwayat (hadis) yang jelas dan disepakati soal hukum warisan Islam kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah Ibn Mas’ud dan Khalifah Umar dan Ali. Mereka adalah generasi pertama Islam dan hidup pada masa Nabi Muhammad. Jadi jelas, bahwa hukum Islam telah ada dan mulai sejak masa Nabi. (lihat pendapat Hallaq dan Goitenin, Coulson dan terutama latar belakang kajian David S. Powers)
Poin kedua, mengenai kata "Fiqh" yang menurut Goldziher hanyalah "Salinan" dari bahasa Latin "(iuris)Prudentia". Keduanya bermakna "pemahaman". Bagi Goldziher, makna "pemahaman" untuk fiqh ini kurang tepat. Makna yang lebih tepat menurutnya adalah "Isti'qal" atau "istidlal". Kenyataan bahwa fiqh dimaknai "Pemahaman" itu lantas dianggap sebagai bukti pengaruh asing atau penyalinan dari (iuris)prudentia Romawi. Keserupaan ini bagi Goldziher mengindikasikan bahwa (fiqh) yang datang terakhir itu menyalin apa adanya (hukum Romawi) yang datang lebih awal. Ini jelas akal-akalan Goldziher. Menurut Fitzgerald, kesamaan makna itu tidak serta menunjukkan keterpengaruhan yang datang belakangan dari yang datang lebih awal. dengan mengutip Santillana, Kesamaan itu lebih merupakan kesamaan dasar pola pikir manusia.
Ketiga, bahwa pembagan hukum tertulis (hukum yang dasarnya Nash/Leges Sciptae) dan hukum tidak tertulis (hukum yang dasarnya qiyas/Leges Nonscriptae) dalam fiqh diambil dari Romawi. Perbedaan keduanya dalam hukum Romawi adalah hukum tertulis (Jus Scriptm) menyandarkan keberlakuannya pada keputusan pembuat undang-undang (legislator). Sedangkan hukum tidak tertulis (Jus Nonscriptum) menyndarkan pada adat/kebiasaan. Menurut Fitzgerald, apabila ditelusuri dari aspek sejarah perkembangan hukumnya, mungkin saja keduanya mirip. Tapi pembedaan kedua baian hukum itu adalah alamiah, terjadi pada semua sistem hukum. Namun yang jelas, dalam Islam ketundukan pada hukum itu bukan pada nasnya itu sendiri, melainkan pada Si Pemberi Nash, yaitu Allah SWT). Sifat seperti sama sekali tidak dijumpai dalam hukum Justinian Romawi.
Persoalan terakhir adalah bahwa "Maslahah/istislah" disalin dari "Utilitas publica". Menurut Fitzgerald, pertimbangan umum justru tidak diakui dalam perkembangan hukum Romawi. Dan sebagai kaidah-pun, ini berbeda sekali dengan teori maslahah/istislah. Masala yang ingin ditegaskan Goldziher tampaknya adalah bahwa fuqaha telah meminjam instrumen-instrumen intelektual hukum Romawi. Semua ini tidak ada fakta sejarah pendukungnya. Goldziher sendiri tidak menjelaskan bagaiman proses penyalinan itu terjadi, siapa yang pertama kali menyalinnya dan seterusnya. Tak penjelasan.
Lebih dari semua itu, Fitzgerald menambahkan, jika memang ada peminjaman atau pengaruh asing dalam hukum Islam dari hukum Romawi, pasti akan tampak pada munculnya kata-kata yang diambil dari peradaban lain itu. Faktanya dalam fiqh, tak ditemukan satu katapun yang diambil dari bahsa hukum Romawi. Ilmuwan muslim secara terus terang menyampaikan asal-usul instrumen intelektualnya sebagaimana terjadi dalam filsafat yang secara terus terang diakui diambil dari Yunani. Para filosof Muslim lantas menyempurnakannya, menambah dan mengurangi agar sesuai dengan keimanan Islam. Hasilnya, filsafat Islam jauh berbeda dan sempurna dari asalnya. Semua itu tidak terjadi dalam fiqh/hukum Islam. Menurut Fitzgerald, masih ada lagi perbedaan yang menunjukkan tidak ada pengaruh asing dalam hukum Islam, yaitu tidak diakuinya bukti tertulis dalam fiqh, atau paling tidak lebih dihargainya pengakuan lisan.
Meski menolak pengaruh asing dalam hukum Islam dari Romawi, dia tidak tampaknya bermaksud mengatakan bahwa hukum Islam bersih dari pengaruh asing. Jikapun dinggap ada, maka pengaruh itu bukan dari Romawi, tapi dari Yahudi yang lebih dahulu berkenalan dengan Romawi. Meski diakui masih sebagai asumsi, baginya, pengaruh asing itu tidak masuk melalui peminjaman-peminjaman secara langsung. Pengaruh itu masuk melalui adat orang-orang Arab yang mereka serap dari perkenalan mereka dengan bangsa Romawi jauh hari sebelum Islam muncul.
Klik tautan berikut ini
untuk melihat
Situs Perpustakaan Gratis