Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Minggu, 02 Mei 2010

Kontroversi Teori Pengaruh Asing dalam Hukum Islam

Cipto Sembodo

Artikel lain yang berkaitan

Teori Pengaruh Asing dalam Hukum Islam
Ignaz Goldziher dan Hukum Islam
Joseph Schacht dan Pengaruh Asing dalam Hukum Islam

Tidak diragukan lagi teori pengaruh asing dalam studi orientalisme hukum Islam ini telah bertahan selama tidak kurang dari satu abad lamanya. Seperti akan dijelaskan dalam studi orientalisme hukum Islam di bawah nanti, teori pengaruh asing ini terbentuk dan menjadi sistematis tentu dengan memiliki dasar-dasar dan asumsi tertentu yang bersifat kontroversial serta mengandung bias-bias kultural. Di sinilah para peneliti modern seperti Wael Hallaq, David Powers dan Harald Motzki muncul pada bagian lain dengan kesimpulan teoretis yang berbeda. Pada saat yang sama mereka menemukan berbagai bukti yang menolak asumsi maupun argument yang dipergunakan oleh para pendahulunya.


Bias Kultural: Mengapa bukan Takes and Gives?
Seperti dijelaskan di atas, teori pengaruh asing dalam hukum Islam ini telah bertahan selama tidak kurang dari satu abad lamanya. Teori pengaruh asing ini terbentuk dan menjadi sistematis tentu dengan memiliki dasar-dasar dan asumsi tertentu, diantaranya adalah Pertama, adanya asumsi yang memandang “rendah peradaban dan orang-orang Muslim, sekaligus tempat lahirnya Islam, Arabia”. Goldziher, misalnya, menyatakan dengan jelas bahwa “para ahli hukum Muslim di Syiria dan Mesopotamia yang mulai mengelaborasi system hukum Islam pada paroh pertama abad ke-dua hijriay tidaklah melakukan suatu kerja yang (dengan mengutip Renan) berasal dari orang Arab yang genius . Bahwa fiqh (hukum) Islam bukanlah merupakan hasil karya orang-orang Arab, melainkan hanya sedikit saja…. .

Kelompok para sarjana Barat yang lain mengemukakan bahwa hukum Islam mungkin telah mengembangkan lebih jauh hukum adat kebiasaan (customary law) Arab-lama (pra Islam) dari Mekkah dan Madinah. Gotthelf Bergstrasser, yang mengakui banyak hadits sebagai otentik tanpa menganalisanya, menyatakan (pada 1925) bahwa hukum Arab lama telah mengandung elemen-elemen hukum Romawi dan berbagai elemen lain yang telah mencapai jazirah Arab melalui hubungan dagang.

Lebih jauh Wael Hallaq menjelaskan bahwa teori pengaruh asing ini berdasarkan lebih pada “doktrin” yang telah ada pada orientalis dari pada realitas sejarah yang sesungguhnya terjadi. Orang-orang Arab selatan (Saudi Arabia dan sekitarnya) dianggap sebagai orang-orang Bodoh, tanahnya tandus dan bukan merupakan pusat peradaban/perdagangan. Jadi tidak mungkin menghasilkan hukum Islam yang demikian sistematis dan maju (Jadi,secara implisit bahkan eksplisit sebenarnya orientalis mengakui hukum Islam itu hebat, sistematis), seperti yang disaksikan dalam sejarah. Namun bagi mereka, yang lebih masuk akal, adalah hukum Islam berasal dari daerah utara, seperti Iraq dan Syiria, Libanon, karena daerah ini subur dan banyak kotanya. Orangnya, karena itu juga lebih pintar-pintar.

Di samping persoalan “RASIS” itu, teori pengaruh asing ini mengandaikan adanya agent yang membawakan pengaruh asing itu masuk ke dalam hukum Islam. Di sini akan ditemukan banyak perbedaan di antara mereka sendiri. Pengaruh ini antar lain dibawa masuk oleh para sarjana keturunan non-arab yang masuk Islam (mawali) ketika Islam menguasai suatu peradaban baru.

Selain mawali, agen yang mentransmisikan unsur luar itu adalah para kholifah Umayah. Ini juga pendapat Goldziher dan kemudian dikembangkan oleh Crone yang berpendapat bahwa para Kholifah Umayah di Syiria, yang dibimbing oleh para administrator Bizantium, bertanggung jawab telah memperkenalkan elemen-elemen hukum propinsi dan hukum Romawi. Selain Crone, Menurut Carl Heinrich Becker, para gubernur dan administrator Mesir-lah yang telah menyalin lembaga hukum Romawi emphyteusis. Irene Schneider mengembangkan sebuah versi yang telah dimodivikasi dari argumen ini. Menurut dia, orang-orang Islam pada abad pertama hijriyah memang benar memiliki suatu ilmu hukum (jurisprudence), tetapi ilmu hukum ini diduga berakar pada sistem hukum non-Arab –paling tidak pada persoalan perbudakan.

Argumen selanjutnya adalah adanya kemiripan antara hukum Islam yang datang lebih akhir dengan sistem hukum yang lain datang lebih awal. Secara apriori dikatakan bahwa jika ada sesuatu ajaran atau bentuk peradaban hukum yang mirip, maka itu dikatakan sebagai pengaruh dari agama/peradaban yang datang lebih awal.

Dalam berbagai kasus di mana peminjaman-peminjaman tersebut diasumsikan ada, terlebih lagi dalam studi-studi lama, (sesungguhnya) tidak terdapat bukti yang lebih jelas selain kesamaan-kesamaan kasar (rough parallels) antara hukum Islam dan sistem hukum yang lain. Namun demikian, adanya kesamaan-kesamaan tersebut tidaklah memberi cukup bukti atas telah terjadinya peminjaman atau pengaruh. Suatu kesamaan bisa saja, misalnya, muncul dari suatu persoalan yuridis yang identik yang menghasilkan solusi-solusi yang mirip. Bahkan jika terdapat lebih dari hanya satu kesamaan yang dapat diajukan untuk mendukung teori pengaruh tersebut, argumentasinya seringkali tidak meyakinkan. Dan jika diteliti lebih seksama, niscaya akan dijumpai perbedaan yang sifatnya sangat mendasar antara hukum Islam dengan sistem hukum lainnya. Sebab hukum Islam itu membawa sebuah identitas yang khas Islami. Sebiah identitas hukum yang bersifat Normative tapitentu saja saja histrorical.

Kelompok para sarjana Barat yang lain mengemukakan bahwa hukum Islam mungkin telah mengembangkan lebih jauh hukum adat kebiasaan (customary law) Arab-lama (pra Islam) dari Mekkah dan Madinah. Gotthelf Bergstrasser, yang mengakui banyak hadits sebagai otentik tanpa menganalisanya, menyatakan (pada 1925) bahwa hukum Arab lama telah mengandung elemen-elemen hukum Romawi dan berbagai elemen lain yang telah mencapai jazirah Arab melalui hubungan dagang. Sejak masa Schacht, dan begitu seterusnya, tidak mungkin lagi untuk terlalu tidak kritis (skeptis –pen) terhadap hadits.

Download artikel ini