Download Artikel ini
Tahukah Anda?
Melatonin: Hikmah Tidur Malam Dalam Gelap
Tidur Dalam Terang, Resiko Obesitas
Puasa Melejitkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual
Pendahuluan
Harus diakui, orientalisme hukum Islam telah melahirkan berbagai teori, pendekatan dan simpul pemikiran yang berbeda-beda. Inilah mengapa berbagai perspektif orientalisme hukum Islam tidak monolitik, tidak seragam, bahkan dapat ditemukan pertentangan diantara teori, pendekatan dan pemikiran mereka sendiri –lepas dari motivasi yang melatarinya. Seperti apakah (apa dan bagaimana) arus utama perdebatan teori, pendekatan tersebut dalam orientalisme hukum Islam ? Bagian ini menelusuri aspek-aspek yang menyertai perbedaan dan perdebatan teori dan pendekatan itu, konsekuensinya, dan para pihak yang terlibat, atau siapa mendukung apa dalam orientalisme hukum Islam.
Mengapa Teori dan Pendekatan itu Penting?
Pendekatan adalah cara pandang bagaimana seseorang atau suatu disiplin, misalnya orientalisme hukum Islam, melihat sesuatu, atau sudut pandang dari mana ia melihat objek. Cara atau sudut pandang mempengaruhi bentuk pandangan itu sendiri. Karenanya, pendekatan merupakan “persoalan pertama” sebelum kita mencoba menguak pandangan seseorang atau suatu konsep/teori terhadap materi yang dijadikan objek pembahasan. Di sini, objek tersebut --bukan kebetulan tentunya-- adalah hukum Islam itu, institusi peradilan Islam yang melaksanakan hukum Islam, dan qadi atau hakim sebagai pelaksananya.
Disebut “persoalan pertama” karena memang dari pendekatan inilah sesungguhnya berbagai pandangan orientalisme hukum Islam –yang akan kita lihat nanti—di Barat itu muncul menjadi kontroversi, biasanya yang paling sering menyinggung keyakinan umat Islam. Tetapi sungguh, kontroversi itu juga berlaku diantara mereka sendiri. Bahkan pada tahap berikutnya, persoalan metode ini jugalah sebenarnya yang membelah studi orientalisme hukum Islam dan para orientalis, sehingga menjadikan meraka tidak monolitik. Inilah kemudian yang melahirkan serangkaian perdebatan, pro, kontra dan berujung pada koreksi dan revisi pandangan-pandangan para orientalis dari sesama mereka sendiri.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa perbedaan cara pandang tersebut mereka demonstrasikan dan dapat kita lihat melalui karya-karya mereka masing-masing. Ini bisa dijadikan agenda riset mini di kelas. Dan inilah pula hal pertama yang akan kita sedikit telusuri dari essay-essay yang tersebar di berbagai publikasi orientalis.
Masalah Sumber Material
Sumber material merupakan kebutuhan primer pertama yang mesti didapatkan dalam setiap penelitian sejarah. Permasalahan yang dihadapi adalah langkanya bukti sejarah yang memadai, baik yang berupa bukti literer, arsip, arkeologi dan yang lainnya. Fakta ini benar khususnya berkaitan dengan abad pertama hijriyah, dan terlebih lagi pada awal dan pertengahan-nya dibandingkan pada akhir abad pertama tersebut. Semakin awal abad hijriyah tersebut maka semakin sulit dan semakin tidak terpecahkan-lah problem-problem tersebut. Dari empat belas (14) abad pembentukan sejarah hukum Islam, tiga (3) abad pertama mempunyai kekhususan yang sifatnya meragukan yaitu sangat sulit dan sarat dengan berbagai problem historiografi.
Berjilid-jilid bukti literer telah bertambah secara sangat cepat selama dua abad berikutnya, tetapi sayangnya, melimpahnya dokumentasi tersebut dirusak oleh berbagai problem serius berupa dugaan tidak-otentik serta kesalahan perujukannya. Ketika sumber-sumber literer muncul ke permukaan sekitar pertengahan abad pertama, yang seringkali mendorong seorang sarjana modern untuk berfikir bahwa sejarah periode pertama itu dapat segera direkonstruksi, segumpal awan keraguan segera terlontar tentang (kebenaran) historisitas sumber-sumber tersebut.
Persoalan utama yang menjadikan semua sumber itu tidak bermanfaat untuk penulisan sejarah periode awal Islam itu adalah bahwa ternyata sumber-sumber tersebut tidak dapat dipercaya sebagai materi yang berasal dari abad pertama hijriyah sebagaimana disebutkan secara tradisional oleh sumber-sumber itu sendiri. Sebaliknya, sumber-sumber itu lebih merepresentasikan sebuah saripati keaslian yang telah melewati suatu proses pengurangan dan penambahan pada masa kemudian.
Sikap dan perlakuan terhadapnya itulah nantinya yang membagi disiplin orientalisme hukum Islam secara metodologis dan hermeneutis ke dalam dua kubu yang berseberangan. J. Koren dan YD. Nevo menyebutnya “tradisionalis” di satu pihak vis รข vis “revisionis” di pihak yang lain.
Perbedaan, untuk tidak menyebutnya pertentangan inti kedua kubu ini terletak pada pengakuan oleh kubu pertama terhadap sumber-sumber literatur yang ditulis oleh orang-orang Islam, dan setiap fakta dan data dapat diterima benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya. Analisis untuk tidak menyebutnya penolakan kubu kedua terhadap sumber-sumber literatur yang sama dibungkus dengan apa yang dikenal sebagai “source-critical method”, metode kritik sumber. Sebagai pelengkap, kubu revisionis mengajukan sumber-sumber tertulis dari luar, juga menggunakan bukti-bukti “keras” lain seperti prasasti, arsip-arsip politik, catatan pengadilan, mata uang, temuan arkeologi dan sebagainya.
Perbedaan, untuk tidak menyebutnya pertentangan inti kedua kubu ini terletak pada pengakuan oleh kubu pertama terhadap sumber-sumber literatur yang ditulis oleh orang-orang Islam, dan setiap fakta dan data dapat diterima benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya. Analisis untuk tidak menyebutnya penolakan kubu kedua terhadap sumber-sumber literatur yang sama dibungkus dengan apa yang dikenal sebagai “source-critical method”, metode kritik sumber. Sebagai pelengkap, kubu revisionis mengajukan sumber-sumber tertulis dari luar, juga menggunakan bukti-bukti “keras” lain seperti prasasti, arsip-arsip politik, catatan pengadilan, mata uang, temuan arkeologi dan sebagainya.