Ilustrasi |
Situs Pustaka Gratis
Teori Pengaruh Asing J. Schacht
Fitzgerald tentang Pengaruh Asing
Teori Pengaruh Asing Goldziher?
Download artikel ini
Oleh: Cipto Sembodo
“Tertutupnya Pintu Ijtihad” adalah satu subjek perdebatan di dalam studi orientalisme hukum Islam kalangan para ahli Islam di Barat, khususnya sejarawan hukum Islam. Debat tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya lebih karena penekanan yang berbeda pada metode dan sumber (sources) dan referensi apakah yang layak dipergunakan.
Lepas dari soal beda penekanan metode itu, jika ditelusuri, maka pendapat umum bahwa pintu ijtihad tertutup di kalangan orientalis atau ahli islam di Barat sesungguhnya tidak lepas dari gagasan awal para orientalis generasi pertama. Sebutlah misalnya Ignaz Goldziher dan Snouck Hurgronje. Tetapi Joseph Schacht-lah kemudian yang banyak sekali menyebut dan mempopulerkan pandangan ini dalam karya monograph-nya seperti The Origin of Muhammadan Jurisprudence dan The Introduction to Islamic Law, maupun karya-karya essay lainnya.
Pandangan-pandangan Schacht yang menyebut bahwa pintu ijtihad telah tertutup segera tersebar dan menjadi pendapat dan pegangan para islamicists lain. Kita bisa melihat metamorfosis ini seperti sebentuk doktrin yang masih sangat kentara sebagaimana dapat dililhat pada pendapat-pendapat Anderson, Coulson, Liebesny dan lainnya yang mengamini begitu saja temuan Schacht.
Menurut teori ini, masa setelah periode formatif hukum Islam, yaitu setelah 300 tahun, merupakan satu masa berkembangnya kekakuan (rigidity) dan finalisasi doktrin-doktrin hukum. Muncul anggapan bahwa setelah munculnya penjelasan-penjelasan yang komprehensif tentang doktrin-doktrin positif berbagai madzhab hukum, pembuatan aturan-aturan hukum baru dari sumber-sumbernya melalui ijtihad telah berhenti. Aktifitas yang ada kemudian hanyalah penjelasan (syarkh), ringkasan (mukhtashar) dan ringkasan atas ringkasan (hasyiyah).
Kontroversi dan Debat Orientalisme
Tetapi cukup mengherankan karena Joseph Schahct sendiri terlihat tidak konsisten. Ia menyatakan bahwa “aktifitas para ulama berikutnya, setelah penutupan pintu ijtihad tidaklah kalah kreatif di dalam batas-batas yang telah ditetapkan untuknya oleh sifat Syari’ah, bukan oleh para pendahulu mereka. Serangkaian fakta-fakta baru tak henti-hentinya bermunculan dalam kehidupan, dan fakta-fakta tersebut harus dikuasai dan dibentuk dengan cara-cara tradisional yang disediakan oleh ilmu hukum”.
Selain itu, meski para Orientalis tanpa kenal lelah berbicara tentang penutupan pintu ijtihad serta konsekuensi-konsekuensinya, tidak ada definisi yang tepat telah diberikan kepada frase penutupan pintu ijtihad (Insidâd bâb al-Ijtihâd). Tidak ada kesepakatan waktu kapankah hal itu berlangsung. Ada yang waktu penutupan pintu ijtihad ini pada awal abad keempat hijriyah, ada pula yang berpendapat abad ketujuh. Satu hal yang menarik, tidak ada perhatian yang dicurahkan kepada penutupan pintu ijtihad sebagai suatu peristiwa realitas sejarah.
Wael Hallaq adalah orang pertama yang mencoba memberikan opini berbeda (dissenting opinion) serta meluruskan kesimpang-siuran sejarah di atas. Bagi Hallaq, kesimpang-siuran seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya semua yang berkepentingan, terutama sejarawan dan ilmuwan, mempelajari dengan benar sumber-sumber primer sejarah yang ada.
Sebagaimana dapat dilihat di dalam literatur-literatur klasik dapat ditemukan, antara lain, bahwa tidak seperti yang telah banyak dituliskan oleh Schacht dkk di Barat atau oleh para penulis Muslim sendiri, praktek ijtihad masih tetap berjalan di kalangan ulama-ulama Islam setelah terbentuknya madzhab-madzhab hukum. Intensitas ijtihad ini memang ditengarai menurun, tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa ijtihad telah tertutup.
Banyak fakta mendukung pendapat ini mulai dari terdapatnya kumpulan fatwa yang sangat dinamis, munculnya para mujtahid dan pembaru pada setiap abad sampai pada gerakan mempertahankan ijtihad itu sendiri. Dan, tema Insidâd bâb al-Ijtihâd yang pada awalnya hanya muncul sebagai polemik tertulis itu tidak pernah memperoleh kata sepakat untuk menjadi keputusan resmi para ulama. Justru sebaliknyalah yang terjadi. Para penentang gerakan ijtihad, yaitu pengajur taqlid yang terdiri kelompok teologis-politis esktrim seperti kaum Hashwiyyah dan ¨Dzahiriyyah telah dikeluarkan dari dan ditinggalkan oleh arus utama umat Islam Ahl Sunnah wa al-Jama‘ah atau Sunni.
Deretan fakta-fakta tersebut di atas memang tidak dengan sendirinya menyangkal habis tesis tertutupnya pintu ijtihad. Tetapi kerja intelektual Hallaq tentu merupakan kontribusi tersendiri bagi penjelasan yang lebih utuh dan akurat tentang tema Tertutupnya Pintu Ijtihad sebagai suatu fenomena sejarah hukum Islam. Bukan sebaliknya, sebagai doktrin yang ditiru dan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Lebih dari semuanya, ini tentu saja penting bagi sebuah upaya rekonstruksi dan apresiasi lebih tinggi masa lalu Islam (islamic past), agar memberikan pelajaran secara lebih baik.
Pandangan-pandangan Schacht yang menyebut bahwa pintu ijtihad telah tertutup segera tersebar dan menjadi pendapat dan pegangan para islamicists lain. Kita bisa melihat metamorfosis ini seperti sebentuk doktrin yang masih sangat kentara sebagaimana dapat dililhat pada pendapat-pendapat Anderson, Coulson, Liebesny dan lainnya yang mengamini begitu saja temuan Schacht.
Menurut teori ini, masa setelah periode formatif hukum Islam, yaitu setelah 300 tahun, merupakan satu masa berkembangnya kekakuan (rigidity) dan finalisasi doktrin-doktrin hukum. Muncul anggapan bahwa setelah munculnya penjelasan-penjelasan yang komprehensif tentang doktrin-doktrin positif berbagai madzhab hukum, pembuatan aturan-aturan hukum baru dari sumber-sumbernya melalui ijtihad telah berhenti. Aktifitas yang ada kemudian hanyalah penjelasan (syarkh), ringkasan (mukhtashar) dan ringkasan atas ringkasan (hasyiyah).
Kontroversi dan Debat Orientalisme
Tetapi cukup mengherankan karena Joseph Schahct sendiri terlihat tidak konsisten. Ia menyatakan bahwa “aktifitas para ulama berikutnya, setelah penutupan pintu ijtihad tidaklah kalah kreatif di dalam batas-batas yang telah ditetapkan untuknya oleh sifat Syari’ah, bukan oleh para pendahulu mereka. Serangkaian fakta-fakta baru tak henti-hentinya bermunculan dalam kehidupan, dan fakta-fakta tersebut harus dikuasai dan dibentuk dengan cara-cara tradisional yang disediakan oleh ilmu hukum”.
Selain itu, meski para Orientalis tanpa kenal lelah berbicara tentang penutupan pintu ijtihad serta konsekuensi-konsekuensinya, tidak ada definisi yang tepat telah diberikan kepada frase penutupan pintu ijtihad (Insidâd bâb al-Ijtihâd). Tidak ada kesepakatan waktu kapankah hal itu berlangsung. Ada yang waktu penutupan pintu ijtihad ini pada awal abad keempat hijriyah, ada pula yang berpendapat abad ketujuh. Satu hal yang menarik, tidak ada perhatian yang dicurahkan kepada penutupan pintu ijtihad sebagai suatu peristiwa realitas sejarah.
Wael Hallaq adalah orang pertama yang mencoba memberikan opini berbeda (dissenting opinion) serta meluruskan kesimpang-siuran sejarah di atas. Bagi Hallaq, kesimpang-siuran seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya semua yang berkepentingan, terutama sejarawan dan ilmuwan, mempelajari dengan benar sumber-sumber primer sejarah yang ada.
Sebagaimana dapat dilihat di dalam literatur-literatur klasik dapat ditemukan, antara lain, bahwa tidak seperti yang telah banyak dituliskan oleh Schacht dkk di Barat atau oleh para penulis Muslim sendiri, praktek ijtihad masih tetap berjalan di kalangan ulama-ulama Islam setelah terbentuknya madzhab-madzhab hukum. Intensitas ijtihad ini memang ditengarai menurun, tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa ijtihad telah tertutup.
Banyak fakta mendukung pendapat ini mulai dari terdapatnya kumpulan fatwa yang sangat dinamis, munculnya para mujtahid dan pembaru pada setiap abad sampai pada gerakan mempertahankan ijtihad itu sendiri. Dan, tema Insidâd bâb al-Ijtihâd yang pada awalnya hanya muncul sebagai polemik tertulis itu tidak pernah memperoleh kata sepakat untuk menjadi keputusan resmi para ulama. Justru sebaliknyalah yang terjadi. Para penentang gerakan ijtihad, yaitu pengajur taqlid yang terdiri kelompok teologis-politis esktrim seperti kaum Hashwiyyah dan ¨Dzahiriyyah telah dikeluarkan dari dan ditinggalkan oleh arus utama umat Islam Ahl Sunnah wa al-Jama‘ah atau Sunni.
Deretan fakta-fakta tersebut di atas memang tidak dengan sendirinya menyangkal habis tesis tertutupnya pintu ijtihad. Tetapi kerja intelektual Hallaq tentu merupakan kontribusi tersendiri bagi penjelasan yang lebih utuh dan akurat tentang tema Tertutupnya Pintu Ijtihad sebagai suatu fenomena sejarah hukum Islam. Bukan sebaliknya, sebagai doktrin yang ditiru dan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Lebih dari semuanya, ini tentu saja penting bagi sebuah upaya rekonstruksi dan apresiasi lebih tinggi masa lalu Islam (islamic past), agar memberikan pelajaran secara lebih baik.
Speaker Buetooth Murah Banget |
Interkoneksi Studi Hukum Islam dan Ilmu Sosial
Shalat Tahajjud: Terapi Kortisol untuk Kekebalan Tubuh
Multiple Intelleigence For Islamic Studies
Puasa Melejitkan Kecerdasan Emosi dan Piritual
Melatonin: Rahasia Tidur di Kegelapan