Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Selasa, 27 April 2010

Al-Qur’an, Dokumen dan Identitas Hukum Islam: Keberatan SD.Goitein dan Wael Hallaq

Cipto Sembodo

Seperti ditegaskan dalam posting beberapa waktu lalu, disiplin orientalisme hukum Islam memang tidak monolitik. Dari segi teori dan pemikiran, banyak ditemukan silang pendapat antara satu tokoh dengan dengan tokoh lain dalam persoalan yang sama. Tesis Joseph Schacht tentang hari lahir hukum Islam dari abad kedua, misalnya, studi orientalisme hukum Islam juga mencatat reaksi tegas dari SD. Goitein dan Wael Hallaq. Goitein dan Hallaq, seperti Noel James Coulson dan David S. Powers, menggaris-bawahi sentralitas al-Qur’an sejak abad pertama hijrah. Al-Qur’an, tulis Hallaq merupakan sebuah dokumen hukum Islam. Secara historispun, ajaran-ajaran al-Qur'an ini telah nyata dipraktekkan oleh Muslims generasi pertama.

Pada akhir tahun ke lima Hijrah (awal tahun 626), demikian Hallaq dalam buku The Origins and Evolution of Islamic Law, wahyu Al-Qur’an mulai merefleksikan suatu perkembangan baru dalam karir Muhammad, dengan mana, untuk pertama kalinya secara jelas, beliau mulai berpikir tentang komunitas Islam yang baru, Ummat, yang mampu untuk memiliki suatu Hukum yang setara, tetapi berbeda dari, hukum-hukum monoteistik lain.

Sependapat dengan SD. Goitein, Kira-kira pada waktu inilah, Surat ke-5 Al-Qur’an diturunkan, mengantarkan ke dalam sebuah daftar perintah-perintah, peringatan-peringatan dan larangan-larangan eksplisit berkaitan dengan sejumlah persoalan yang berbeda-beda, mulai dari memakan daging babi hingga pencurian. Di dalamnya, kita temukan rujukan-rujukan kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani beserta kitab suci mereka masing-masing.

Pada surat 5 ayat 43, Allah SWT. bertanya, dengan ungkapan keheranan, mengapakah orang-orang Yahudi datang kembali menjadikan Muhammad sebagai seorang penengah (arbiter), “padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah”. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah…” (5:44). Pada dua ayat berikutnya, Al-Qur’an berbicara kepada pemeluk Nasrani mengatakan yang sebenarnya bahwa Allah mengutus nabi Isa untuk membenarkan kenabian Musa dan menurunkan Injil untuk menekankan kembali “petunjuk dan nasehat” yang telah diwahyukan di dalam Taurat. “Maka hendaklah para pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (5:47).

Apabila orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani saja telah diperlakukan dengan wahyu-wahyu yang mengikat secara hukum, maka begitu juga sekarang orang-orang Muslim, demikian Al-Qur’an menetapkan. Surat 5: 48, yang menandai suatu titik balik, menyatakan:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan Kebenaran…Untuk tiap-tiap umat diantara kamu [yaitu orang-orang Muslim, Yahudi dan Nasrani] Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja…

Tetapi Allah tentu saja memilih tidak menjadikannya satu umat, justru menciptakan tiga komunitas dengan tiga aturan hukum yang berbeda dan terpisah, agar masing-masing komunitas itu dapat mengikuti hukumnya sendiri. Al-Qur’an berulangkali menekankan bahwa orang-orang Mu’min haruslah memutuskan perkara dengan apa yang telah diwahyukan untuk mereka, (Al-Qur’an 2:213; 3:23; 4:58, 105; 5:44-45, 47; 7:87; 10:109; 24:48. Al-Qur’an 5: 44, misalnya, menyatakan: “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”) sebab, ”hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah” (5:49-50). Penting untuk dicatat di sini bahwa “jalan normative” yang disebut pada surat 5:48 ditunjukkan dengan istilah “minhaj“, satu kata yang asalnya sama-sama dari bahasa Yahudi “minhag” (hukum). Kelahiran suatu undang-undang hukum Islam di sini tentu saja memadai untuk berbicara tentang dirinya sendiri.

Ayat-ayat tersebut di atas menandai permulaan legislasi substantif di dalam Al-Qur’an, yakni, legislasi yang lebih dari dan di luar persoalan-persoalan ritual, seperti shalat dan haji. Dengan kata lain, bagian terbesar dari legislasi substantif tampaknya telah diturunkan setelah tahun ke-5/626, ketika satu bentuk hukum (a body of law) yang khusus untuk Ummat tertentu, yaitu komunitas Muslim, telah tersusun untuk pertama kalinya.

Perhitungan tradisional tentang semua ayat-ayat hukum mencapai kira-kira lima ratus ayat –suatu jumlah yang secara sekilas tampak sangat sedikit, dibandingkan seluruh jumlah ayat dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, sebagaimana Goiten telah mencatatnya secara cerdas, ayat-ayat hukum ini mewakili timbangan yang lebih besar dibanding jumlah ayatnya sendiri. Sudah umum diketahui bahwa sering terjadi pengulangan dalam Al-Qur’an baik secara literal maupun tematis, tetapi kecenderungan pengulangan ini tidak terjadi dalam pokok-pokok persoalan hukum. Karena itu, proporsi ayat-ayat hukum menjadi lebih besar dari yang ditunjukkan oleh satu jumlah yang pasti. Dan jika kita pertimbangkan fakta bahwa panjang rata-rata ayat-ayat hukum itu dua kali atau bahkan tiga kali lebih panjang dari ayat-ayat non-hukum, maka tidaklah sulit untuk menyatakan, mengikuti S.D. Goitein, “The Birth-Hour of Muslim Law”, Muslim World, 50, 1 (1960), bahwa Al-Qur’an itu mengandung materi-materi hukum yang tidak kurang banyaknya dibandingkan Taurat, yang secara umum dikenal sebagai “hukum“.

Download Artikel ini

Artikel lain yang terkait

Hari Lahir Hukum Islam
Teori Hari Lahir Hukum Islam, mengapa bermasalah?
David S. Powers dan Proto Islamic Law