Mengapa teori hari lahir hukum Islam abad ke dua hijrah bermasalah? Apa masalahnya? Harus diketahui bahwa alasan yang dipakai Joseph Schacht dan Goldziher adalah bukti historis (sumber material) bahwa sumber-sumber awal Islam sendiri tidak membuktikan dengan tegas nilai-nilai al-Qur’an, apalagi menegaskan al-Qur’an sebagai sebuah sumber langsung hukum Islam. Jadi, al-Qur’an tidak memperoleh posisi penting sebagai sebuah sumber wahyu hukum Islam yang lengkap dan fundamental segera setelah wafatnya Nabi. Masih menurut Schacht Juga tidak terdapat bukti bahwa Sunnah telah mencapai posisi penting yang sama segera setelah wafatnya Nabi, atau bahwa Sunnah Nabi telah menjadi satu-satunya bentuk “model dicta” selama abad pertama hijriyah. Tidak dapat dipercayanya riwayat-riwayat hadis itulah intinya --menur Goldziher dan Schacht diduga palsu-- sehingga mereka berdua tidak mengakui pentingnya Qur'an sekaligus juga hadisnya.
Kebanyakan untuk tidak menyebutnya seluruh riwayat hadis itu dibuat belakangan saja 200 tahun setelah Nabi wafat. Dibuatlah urutan orang-orang yang menerima hadis dari masa itu ke masa-masa sebelumnya hingga sampai kepada Nabi. Di sinilah mengemuka teori Backward Projection, dan e-Silentio. Pendeknya, dengan teori-teori yang ada, ingin dikatakan bahwa Hadits Nabi ternyata buatan para generasi berikutnya atau palsu. Tidak mengherankan jika kajian-kajian orientalis dalam bidang ini penuh dengan kritisisme al-Qur’an dan Hadits/Sunnah.
Namun secara teoretis, tesis Joseph Schacht di atas bermasalah karena tidak merujuk pada al-Qur’an secara sungguh-sungguh dan mengabaikannya. Schacht tidak serius karena hanya menulis hanya 4 halaman tentang al-Qur’an dari total 348 halaman dari buku The Origins of Muhammdan Jurisprudence, magnum opusnya itu.
Hal lain yang mengganggu tesis Schacht adalah problem generalisasi. Sangat jelas bahwa Schacht menggeneralisir “kepalsuan” hadis --yang dia anggap sebagai hasil proses backward projection-- diterapkannya pada seluruh hadis. Bagi sebagian pihak, berdasarkan alasan praktis dan juga religious, generalisasi ini tampak sebagai “keterlaluan” dari berbagai banyak kemungkinan. Lebih dari itu, meskipun cerita-cerita, laporan tentang Muhammad –katakanlah—tidak asli, tetapi tetap saja bahwa di mana pun, di balik cerita atau kisah pasti terdapat tokoh historis yang nyata.
Pernyataan bahwa hukum Islam tidak diderivasi secara langsung dari al-Qur’an dan anggapan semua hadits spurious adalah jelas memotong hubungan sinergis antara Al-Qur’an-Sunnah-Hukum Islam yang diyakini oleh Muslims. Pertanyaannya, jika teladan Nabi dan al-Qur’an hanya memberikan kontribusi peringkat dua, lalu apa sebenarnya sumber akhir dari “living tradition” dan “praktek popular” itu?
Pada gilirannya, hal ini menimbulkan pula persoalan dalam sumber-sumber hukum Islam dalam pandangan para orientalis, seperti tentang posisi al-Qur’an, Hadits/Sunnah, Qiyas, Ijma’ dan sebagainya. Fazlur Rahman menyebut pernyataan Schacht di atas tidak dapat dimengerti dan juga berbahaya.
Masalah-masalah di atas benar-benar menjadi titik lemah tesis “hari lahir hukum Islam” yang diajukan Joseph Schacht. Coulson, misalnya, mengambil posisi yang jelas dalam merespon hal ini. Menurut Coulson, akan tergambar atau tercipta suatu kekosongan dalam perkembangan hukum di masa awal Islam, jika keaslian setiap aturan yang diduga bersal dari Nabi ditolak begitu saja.
Mengenai al-Qur’an, Schacht sebenarnya tidak terlalu serius membahasnya sebagaimana terlihat dalam pembahasannya yang terlampau tipis dan tidak serius dalam karya magnum opusnya The Origins; sedangkan kritisismenya terhadap hadits, sesungguhnya Schacht banyak sekali berhutang –seperti pengakuannya sendiri-- pada pendahulunya Ignas Goldziher, sang perintis Islamic Studies di Barat. Begitu pula tentang peran Muhammad, Schacht hanya mengikuti jejak para pendahulunya, Snouck Hurgronje.
Baca artikel lain yang terkait
Teori Hari Lahir Hukum Islam
Coulson dan Legislasi al-Qur'an
Identitas Hukum al-Qur'an
David Powers dan Proto Islamic Law