Cipto Sembodo
Download Artikel ini
Pendahuluan
Pada bagian sebelumnya, telah sedikit dijelaskan bahwa orientalisme hukum Islam itu tidak monolitik, berbeda-beda teori, pendekatan dan pemikirannya, bahkan berseberangan satu sama lain. Jadi harus diakui, orientalisme hukum Islam telah melahirkan berbagai teori, pendekatan dan simpul pemikiran yang berbeda-beda.–lepas dari motivasi yang melatarinya. Telah dijelaskan bahwa hal pertama yang membelah studi orientalisme hukum Islam adalah soal sumber material. Semakin awal sumber sejarah itu, semakin sulit ditemukan dan dipercaya. Bagaimana menyikapinya adalah hal kedua yang juga membelah orientalisme hukum Islam ke dalam apa yang nanti disebut tradisionalis dan revisionis. Seperti apakah arus utama perdebatan teori, pendekatan tersebut dalam orientalisme hukum Islam ? Bagian ini menelusuri aspek-aspek yang menyertai perbedaan dan perdebatan antara kelompok tradisionalis versus revisionis.
Garis Pemisah Tafsir dan Metodologi
Dalam orientalisme hukum Islam, latar belakang perbedaan kedua kubu tradisionalis versus revisionis tersebut di atas sebenarnya dapat dilacak pada apa yang disebut oleh Wael Hallaq sebagai “perspektifisme hermeneutis”. Perspektifisme hermeneutis ini sangat terkait dengan budaya, agama, politik dan loyalitas-loyalitas lain. Ini sangat terasa dalam pembacaan dan interpretasi tiga abad pertama sejarah hukum Islam sehingga telah menyisakan kita, secara kasar, dengan dua kelompok sarjana yang sangat berbeda sebagaimana dijelaskan oleh Koren dan Nevo di atas. Dengan sedikit perkecualian, perbedaan-perbedaan antara dua kelompok tersebut bukan tidak penting dan bukan pula tidak dapat dipertemukan; jika saja mereka tidak enggan.
Apapun point-point yang sebenarnya dapat disetujui oleh kedua kelompok ini –namun amat sangat jarang terjadi, jarak yang memisahkan mereka adalah satu garis metodologis dan hermeneutis. Keadaan ini berlangsung seperti itu karena terbentuk oleh fakta yang sangat dominan bahwa satu kelompok mengambil budaya, politik dan pandangan dunianya dari sebuah realitas dominasi penjajah (colonialist) di mana ia berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan kelompok lainnya muncul dari suatu realitas dan sejarah yang tidak saja mewakili, bahkan mempertahankan sebagai akhir budaya religius yang terjajah. Batas ini berdiri persis berhadap-hadapan dengan rasionalisme dan saintisme penjajah, sebagai satu-satunya aspek yang hadir yang dapat dipercaya untuk, jika bukan sebuah sisa dari, keagungan agama masa lalu. Dengan kata lain, jarak yang memisahkan antara dua kelompok itu didorong oleh suatu benturan antara dominasi modern dan tradisionalisme yang didominasi.
Cerita Agama VS Orientalisme
Cerita agama seringkali mengandung dan mengajukan sebuah sejarah hukum yang jangkarnya bersifat religious, menirukan asumsi-asumsi para ulama. “Kebenaran sejarah” cerita agama ini, seandainya ia diungkapkan, pada akhirnya tidak akan menghasilkan apa-apa selain Kebenaran (Truth) sebagaimana dikonstruksi oleh konsepsi ide-ide, peristiwa-peristiwa dan orang-orang tertentu yang ujung-ujungnya dibuat menjadi pilar-pilar penentu dari apa yang sebenarnya disebut, dan dimasukan, sebagai kebudayaan, sejarah dan hukum Islam.
Bagaimana mengkonfirmasi cerita agama seperti itu dengan data-data sejarah yang autentik?, sementara kita menjumpai persoalan bahwa sumber-sumber material yang ada, demikian pula sumber berita yang mengandung cerita-cerita semacam itu sulit dipercaya kebenarannya? Sebenarnya ini persoalan penelitian sejarah pada umumnya. Tak ada yang istimewa, semua agama dan budaya mengalaminya.
Bagaimana mengkonfirmasi cerita agama seperti itu dengan data-data sejarah yang autentik?, sementara kita menjumpai persoalan bahwa sumber-sumber material yang ada, demikian pula sumber berita yang mengandung cerita-cerita semacam itu sulit dipercaya kebenarannya? Sebenarnya ini persoalan penelitian sejarah pada umumnya. Tak ada yang istimewa, semua agama dan budaya mengalaminya.
Perspektif Orientalisme menjadi bermaslah manakala perspektif itu menyentuh ranah-ranah religius/keimanan serta di pihak lain menyangkut integritas indentitas peradaban Islam. Seperti akan dijelaskan pada bahasan selajutnya, Orientalisme seringkali mengembangkan perspektif yang berimplikasi “mendistorsi” garis keimanan Muslim. Bahkan berwarna tertentu yang “mendiskreditkan”, merendahkan identitas dan integritas bangunan budaya dan peradaban yang dibangunnya.
Antara Tradisionalis dan Revisinis
Seperti dijelaskan di atas, perseteruan dua kubu orientalis terletak pada bagaimana men-sikap masalah sumber material sebagai dasar penelitian sejarah. Di namakah letak seseorang Islamisist itu mengambil posisi berdasarakan penafsiran metodologis dan ideologinya masing-masing, inilah menentukan hasil akhir yang akan diperolehnya.
Kelompok orientalis revisionis menolak sejarah cerita agama sebagaimana dipegangi oleh kebanyakan kaum Muslimin, karena cenderung menjustifikasi kebenaran, bukan menampilkan fakta yang sebenarnya. Menurut kubu revisionist, pusat persoalan yang menggelayuti cerita agama semacam ini adalah kekuatannya untuk memproyeksikan ke belakang/ke masa lalu (backward projection) berbagai peristiwa dan perkembangan-perkembangan yang mungkin saja tidak pernah terjadi pada rentang periode yang ditunjuk oleh peristiwa dan perkembangan itu sendiri. sebagaimana perdebatan tentang otentisitas al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Namun, penting dicatat bahwa ORIENTALISME HUKUM ISLAM telah menghasilkan simpul pemikiran yang berbeda-beda, bahkan di internal kelompok revisionis. Temuan-temuannya bertentangan dengan ORIENTALISME Klasik. Lebih menarik lagi, kesarjanaan revisionist ini muncul meskipun bentuk alat-alat ilmiahnya hampir tidak dapat dibedakan dengan (tapi dalam banyak kesempatan lebih canggih dari) modus operandi yang telah ditentukan oleh ORIENTALISME klasik. Namun, revisionisme ini cenderung untuk mengkonfirmasi banyak hal yang dinyatakan oleh cerita-cerita agama tradisional.