Oleh: Cipto Sembodo
Secara tekstual, pembaruan (tajdid) menurut Ahmad Jainuri dan Bustami Muhammad Sa’id adalah upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang sesungguhnya bukan ajaran agama, tetapi disalah-pahami sebagai ajaran agama. Di sisi lain, pembaruan atau reformasi (islah) berarti pula upaya menjawab berbagai tatangan zaman. Pengertian terakhir ini, hemat penulis, lebih tepat disebut “pembaruan”. Sedangkan yang pertama lebih tepat disebut pemurnian atau purifikasi.
Usaha-usaha pembaharuan/pembaruan (tajdid dan islah) --yang dalam masa modern muncul dengan berbagai predikat, seperti reformisme, modernisme, puritanisme bahkan fundamentalisme-- sebenarnya memiliki dasar-dasar teologisnya dalam pengalaman sejarah kaum Muslim. Dalil naqli yang sering dikutip adalah hadits nabi yang berbunyi:
"عن أبى هريرة رضي الله عنه عن رسول الله ص.م. قال: إن الله يبعث لهذه الأمة علي رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها" .
Sebagai suatu bentuk implementasi ajaran Islam pasca Nabi SAW., maka pembaruan (tajdid dan islah) merupakan wacana yang inhern dalam kehidupan kaum Muslim. Karena itu, ia mencerminkan sebuah mata rantai dam kontinuitas sejarah.
Pembaharuan dalam Islam, dengan demikian merupakan pengejawantahan dan konsekuensi logis dari misi universal Islam, yang mencakup semua nilai dan aspek kehidupan, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Anbia ayat 107: وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين Karena itu, kebutuhan untuk membumikan dan memperbaharui nilai-nilai Islam tersebut akan selalu muncul ke permukaan.
Sementara itu, hukum Islam hidup dan berkembang dengan tidak pernah terlepas dari dimensi waktu serta ruang sejarah. Inilah pada dasarnya yang membentuk karakter hukum Islam responsif, adaptif serta dinamis. Sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam, maka hukum Islam juga selalu dituntut untuk memberikan pemecahan atas bermacam problem yang terjadi di dalam setiap zaman masyarakat bumi.
Di sinilah, menurut penulis, menjadi relevan menghubungkan pembaharuan dengan modernisasi di Barat. Maksudnya, dinamika inhernt di dalam hukum Islam tersebut sebenarnya memperoleh momentumnya kembali ketika Islam mengalami kontak langsung dengan Barat modern. Seperti dikatakan Harun Nasution wacana “pembaruan“ dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan “modernisasi”. Istilah Modernisasi dan modernisme itu sendiri berasal dari Barat yang mengandung pengertian aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat dan institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya kontak dunia Islam dengan Barat di awal abad ke-19, ide-ide tersebut masuk ke dalam dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru.
Jika pembaruan ini dibawa ke dalam konteks hukum Islam, maka yang dimaksud “pembaharuan hukum Islam” adalah “upaya untuk melakukan penyelarasan pemahaman dan aplikasi ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan modern dengan tetap berdasarkan pada semangat ajaran Islam”. Hal ini menurut Amir Syarifuddin dapat berbentuk reformulasi fiqh, yaitu perumusan ulang atas rumusan yang telah diberikan oleh para mujtahid terdahulu. Hal ini dilakukan --karena satu dan lain hal-- setelah bergantinya masa rumusan-rumusan fiqh lama menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan empiris. Agar hukum Islam dapat diterapkan dalam kondisi aktual, maka diperlukan reformulasi fiqh.
Dari kajian di atas dapat ditegaskan bahwa usaha apapun yang dilakukan, baik oleh individu, organisasi maupun pemerintah, jika berorientasi ke arah penyelarasan pemahaman dan penerapan ajaran Islam di bidang hukum dengan perkembangan-perkembangan modern sehingga hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan proporsional terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, maka semua usaha tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari usaha pembaharuan hukum Islam.
Fakta sejarah pun merekam bahwa keduanya hadir secara beragam, yang mencerminkan jawaban kontekstual terhadap persoalan yang dihadapi dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Jadi, dinamika social yang bersifat eksternal sesungguhnya merupakan sebab langsung adanya pembaruan. Namun demikian, pembaruan itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari dorongan dan semangat religious yang bersifat inherent , yang ada di dalam dirinya sendiri.
Sampai di sini pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya yang terjadi dengan hukum Islam, ada apa dengan hukum Islam sehingga perlu pembaharuan? Berhubungan dengan sejarah, kapankah ide-ide dan proses pembaharuan hukum Islam tersebut mulai menggejala dan mewacana di dunia Muslim?
Usaha-usaha pembaharuan/pembaruan (tajdid dan islah) --yang dalam masa modern muncul dengan berbagai predikat, seperti reformisme, modernisme, puritanisme bahkan fundamentalisme-- sebenarnya memiliki dasar-dasar teologisnya dalam pengalaman sejarah kaum Muslim. Dalil naqli yang sering dikutip adalah hadits nabi yang berbunyi:
"عن أبى هريرة رضي الله عنه عن رسول الله ص.م. قال: إن الله يبعث لهذه الأمة علي رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها" .
Sebagai suatu bentuk implementasi ajaran Islam pasca Nabi SAW., maka pembaruan (tajdid dan islah) merupakan wacana yang inhern dalam kehidupan kaum Muslim. Karena itu, ia mencerminkan sebuah mata rantai dam kontinuitas sejarah.
Pembaharuan dalam Islam, dengan demikian merupakan pengejawantahan dan konsekuensi logis dari misi universal Islam, yang mencakup semua nilai dan aspek kehidupan, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Anbia ayat 107: وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين Karena itu, kebutuhan untuk membumikan dan memperbaharui nilai-nilai Islam tersebut akan selalu muncul ke permukaan.
Sementara itu, hukum Islam hidup dan berkembang dengan tidak pernah terlepas dari dimensi waktu serta ruang sejarah. Inilah pada dasarnya yang membentuk karakter hukum Islam responsif, adaptif serta dinamis. Sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam, maka hukum Islam juga selalu dituntut untuk memberikan pemecahan atas bermacam problem yang terjadi di dalam setiap zaman masyarakat bumi.
Di sinilah, menurut penulis, menjadi relevan menghubungkan pembaharuan dengan modernisasi di Barat. Maksudnya, dinamika inhernt di dalam hukum Islam tersebut sebenarnya memperoleh momentumnya kembali ketika Islam mengalami kontak langsung dengan Barat modern. Seperti dikatakan Harun Nasution wacana “pembaruan“ dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan “modernisasi”. Istilah Modernisasi dan modernisme itu sendiri berasal dari Barat yang mengandung pengertian aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat dan institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya kontak dunia Islam dengan Barat di awal abad ke-19, ide-ide tersebut masuk ke dalam dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru.
Jika pembaruan ini dibawa ke dalam konteks hukum Islam, maka yang dimaksud “pembaharuan hukum Islam” adalah “upaya untuk melakukan penyelarasan pemahaman dan aplikasi ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan modern dengan tetap berdasarkan pada semangat ajaran Islam”. Hal ini menurut Amir Syarifuddin dapat berbentuk reformulasi fiqh, yaitu perumusan ulang atas rumusan yang telah diberikan oleh para mujtahid terdahulu. Hal ini dilakukan --karena satu dan lain hal-- setelah bergantinya masa rumusan-rumusan fiqh lama menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan empiris. Agar hukum Islam dapat diterapkan dalam kondisi aktual, maka diperlukan reformulasi fiqh.
Dari kajian di atas dapat ditegaskan bahwa usaha apapun yang dilakukan, baik oleh individu, organisasi maupun pemerintah, jika berorientasi ke arah penyelarasan pemahaman dan penerapan ajaran Islam di bidang hukum dengan perkembangan-perkembangan modern sehingga hukum Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan proporsional terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, maka semua usaha tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari usaha pembaharuan hukum Islam.
Fakta sejarah pun merekam bahwa keduanya hadir secara beragam, yang mencerminkan jawaban kontekstual terhadap persoalan yang dihadapi dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Jadi, dinamika social yang bersifat eksternal sesungguhnya merupakan sebab langsung adanya pembaruan. Namun demikian, pembaruan itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari dorongan dan semangat religious yang bersifat inherent , yang ada di dalam dirinya sendiri.
Sampai di sini pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya yang terjadi dengan hukum Islam, ada apa dengan hukum Islam sehingga perlu pembaharuan? Berhubungan dengan sejarah, kapankah ide-ide dan proses pembaharuan hukum Islam tersebut mulai menggejala dan mewacana di dunia Muslim?
Artikel terkait:
Asal-usul Pembaharuan Hukum Islam
Problematika Pembaharuan Hukum Islam